Sepanjang Trihari Suci, Paroki St. Martinus “disemarakkan” oleh kehadiran 6 orang pemuda keren. Mereka, para frater ini, hadir dan terlibat dalam acara Trihari Suci kita. Seorang berasal dari Biara OSC sementara lima lainnya berasal dari Seminari Tinggi Fermentum. Mereka tidak hanya membawa diri, tetapi juga membawa segudang pengalaman yang sangat menarik, terutama terkait pengalaman iman akan panggilannya. Redaksi berusaha untuk mewawancarai mereka. Check it Out!
Fr. Bonaventura Anggoro Bramastyo Aji
Fr. Bona lahir di Magelang, 7 Juli 1997, di lingkungan keluarga yang semuanya Katolik. Fr. Bona mulai tertarik menjadi seorang imam ketika duduk di bangku kelas 3 SMP. Pada awalnya, Fr. Bona hanya mencoba-coba. Namun setelah dijalani, Fr. Bona merasa ketagihan, karena menjadi seorang imam itu ternyata memiliki cara hidup yang sangat teratur dan berserah pada Tuhan. Itulah yang membuatnya merasa nyaman dalam panggilannya saat ini. Fr. Bona sekarang kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan semester 4. Dia yakin akan sampai pada tahbisan. Deo Gratias! “Semoga saya dapat mengolah hidup dengan lebih baik, sehingga apa yang dicita-citakan dan diharapkan oleh orang banyak dapat tercapai,” itulah harapannya. Ketika ditanya mengapa memilih Keuskupan Bandung? “Saya sudah hidup 5 tahun di Keuskupan Bandung, maka saya kembali saja ke Keuskupan Bandung,” begitu jawabannya.
Fr. Moses William Yuwono Fr.
William lahir di Yogyakarta, 10 April 1994, dalam sebuah keluarga Katolik. Awal muasal tertarik menjadi seorang imam saat kelas 3 SMP ikut Misdinar di Stasi Batujajar Cimahi. Saat itu orangtuanya tidak memberi izin. Akhirnya, William melanjutkan sekolahnya hingga lulus di jurusan Arsitektur UPI. Kehidupan sebagai anak muda pun pernah dijalaninya. Pacaran misalnya. Hanya dari awal, dia sudah cerita dulu bahwa ia merasa punya panggilan khusus. Sehingga hubungan itu masih baik sampai sekarang. Lulus dari UPI, barulah ia akhirnya diizinkan untuk masuk ke Seminari Tinggi Fermentum.
Berkisah ketertarikannya menjadi imam ya karena ia ingin melayani, apalagi mendengar bahwa imam di Keuskupan Bandung itu kurang jumlahnya. Kekuatan Roh Kudus diyakininya sebagai kekuatan yang membuatnya dapat bertahan dalam panggilan itu. Menurut Fr. William, “Sebuah keputusan yang besar butuh komitmen yang besar. Meninggalkan hidup perkawinan dan memilih hidup imamat, ini merupakan komitmen yang besar.” Saat ini Fr. William masih kuliah di semester 4 Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan. Ditanya mengenai harapannya untuk masa depan, “Semoga saya bisa menjadi Romo yang berguna bagi masyarakat Katolik Keuskupan Bandung.”
Fr. dr. Stephanus Ferryandis Harsono, SpA
Fr. Yandis lahir di Jakarta, 11 Februari 1980. Ibunya seorang Muslim, sementara ayahnya seorang Katolik. Ia adalah anak pertama, dan satu-satunya laki-laki. Fr. Yandis mulai tertarik menjadi seorang imam sejak duduk di bangku kelas 3 SMP. Saat itu ia aktif menjadi seorang misdinar sehingga cukup dekat dengan para romo dan frater. Apalagi kemudian Yandis mendengar khotbah dari Rm. Ediwinarto, SJ yang mengatakan bahwa gereja Katolik kekurangan imam. Saat minta izin untuk masuk seminari, orang tua melarangnya. Begitu pula saat lulus SMA, dan lulus sebagai seorang dokter, ia kembali mencoba minta izin masuk seminari. Tetap ditolak. “Mungkin menjadi seorang imam, bukanlah jalan hidupku…!” demikian permenungan dr. Yandis yang kemudian melanjutkan pendidikannya di Manila. Di sana, ia bertemu dengan seorang gadis Filipina. Sebelum berhubungan serius, dr. Yandis meminta tanda dari Tuhan, ternyata tidak diberikan. Akhirnya mereka pun berpacaran selama 3 tahun, dan kemudian bertunangan 2 tahun. Rencana pernikahan sudah cukup matang (lokasi gereja dan siapa saja yang akan diundang), sudah pula ikut KPP dengan Rm. Yoyo OSC, tapi panggilan itu tetap menyala! Akhirnya kembali ia minta tanda dari Tuhan untuk dirinya sendiri dan ibunya. Ia berdoa agar jika memang menjadi imam adalah jalan bagi dirinya, tolong buat agar ibunya percaya kepada Tuhan Yesus. Doa itu dikabulkan. Ibunya dibaptis menjadi Katolik.
Akhirnya, kedua orangtuanya menemui keluarga gadis Filipina itu, menyampaikan keputusan dr. Yandis untuk tetap menekuni jalan panggilannya sebagai seorang Imam. Berat memang, tapi akhirnya pertunangan itu pun diakhiri dengan baik- baik.
Hal yang membuat Fr. Yandis bertahan dengan panggilannya adalah api panggilan dari Tuhan yang terus menyala dalam dirinya. Walaupun Fr. Yandis berusaha melupakan panggilan tersebut dengan mencoba menjalin hubungan serius dengan seorang perempuan, Fr. Yandis tetap tidak bisa melupakan panggilannya.
Saat ini dia masih kuliah di semester 4 Fakultas Filsafat UNPAR. Dia yakin akan jadi imam, 6 tahun yang akan datang. “Panggilan itu mudah, konsistensinya yang berat. Tidak mudah, teman-teman itu berbeda jauh, yang lain sekitar 20 tahun, saya sudah 39 tahun. Sekarang mama yang paling menguatkan, walau dulu dia seorang Muslim,” demikian tutur Fr. Yandis.
Pesannya untuk para orang tua, “Kalau anaknya terpanggil jangan ditahan, walaupun ia sudah kuliah/bekerja. Biarkan mereka berkembang di jalan-Nya. Pesan yang lain, dukung imam untuk tetap terus menjadi imam, jangan sampai keluar. Imam pun sedih kalau umatnya bercerai.”
Fr. Gregorius Dimas Arya Pradipta
Fr. Dimas, lahir di Yogyakarta, 19 Maret 1995, di lingkungan keluarga yang juga semuanya Katolik. Terhadap jalan panggilannya, Dimas mengatakan, “Nggak ada hambatan. Mama sudah merelakan, papa mendukung.” Anda bingung? “Mendukung tuh ngga ada unsur ngga relanya. Kalau merelakan ada unsur nahannya,” begitu penjelasan Fr. Dimas yang lebih suka dipanggil Fr. Black. Hm!
“Papa dulu seorang frater. Tentu saja beliau punya banyak kenalan Romo dan frater-frater. Sejak kecil saya seringkali diajak main ke gereja dan banyak bergaul di lingkungan gereja,” cerita Fr. Dimas. Mulai saat itu, Dimas tertarik untuk menjadi seorang imam. Ia senang melihat jubah yang dikenakan imam ketika bertugas. Ia pun sempat aktif sebagai misdinar di gereja Pugeran.
Seiring berjalannya waktu, ketika duduk di bangku SMP, keinginan menjadi imam tidak muncul lagi. Bahkan dirinya merasa jengkel ketika teman-temannya menyebut dirinya, “calon romo”. Dimas remaja adalah Dimas yang sangat bandel. Dia lebih suka tawuran daripada ke gereja/belajar, lebih suka berkelahi daripada pacaran, lebih suka pukul-pukulan daripada perempuan. Bahkan di SMP Pangudi Luhur Yogya itu, dia kena kasus 36 alpa! Itulah sebabnya oleh gurunya dia dipanggil si Black: hitam, kecil, dan paling bandel!
Lulus SMP, Black diterima di SMA De Britto, sebuah sekolah favorit di Yogya. Tapi tak ada perasaan bangga. Sementara itu, Sang Papa menawarkan seolah mengingatkan, “Mas, apa masih mau nyoba seminari, po?” Akhirnya Black daftar gelombang 2 di Mertoyudan, dan diterima (2011). “Rasanya begitu sukacita, beda banget saat berhasil masuk di de Britto,” cerita Black…! Walaupun demikian, Mertoyudan tidak merubah kebandelannya. “Itu faktanya,” jelas Fr. Dimas.
Dulu dia hanya tahu ada Imam Projo. Tapi di Mertoyudan pengetahuan itu berkembang. Ternyata ada Romo OSC, Jesuit, MSF, SSCC. Kebetulan ada kunjungan dari kakak-kakak Fermentum ke Mertoyudan, “Lho ada Keuskupan Bandung!” Black melihat profil Keuskupan Bandung, jumlah imamnya berbanding jauh dengan Keuskupan Agung Semarang (KAS). Di KAS pada tahun 2019 ada 280 imam, sementara di Keuskupan Bandung hanya 43 imam. Faktor lain karena ia ingin melayani di rantau, maka bulatlah tekadnya. Dari Mertoyudan Black lanjut ke Fermentum.
Sekarang dia ada di semester 6. Kalau lancar, 4.5 tahun lagi sudah tahbisan. Fr. Dimas berharap agar ia dapat tetap setia, walaupun tingkat semakin naik tuh tantangannya semakin berat. Udah pernah punya pacar juga, sebelum masuk ke Mertoyudan, dan itu sempat membuatnya berhenti berantem!
Fr. Eduardus Krisna Pamungkas
Fr. Edo, demikianlah dia dipanggil, adalah yang paling senior di antara ke-6 cowok keren ini. Dia lahir di Magelang, 13 Desember 1995. Juga di tengah keluarga Katolik, sehingga nggak ada kesulitan waktu mau masuk seminari.
Panggilan itu berawal saat Fr. Edo duduk di kelas 5 SD. “Jadi Romo kelihatan menarik fisiknya: baju, jubah, kasula…!” Akhirnya, lulus SMP, dia pun masuk ke Seminari Menengah Mertoyudan.
Mengapa koq meneruskan ke Bandung? “Saya cari tempat dan suasana, pengalaman, dan tantangan yang baru. Kebetulan ada teman yang dari Bandung dan mengajak untuk masuk ke Bandung, ternyata diterima.” Udah sempat punya pacar juga.
Fr. Edo juga bercerita bahwa keraguan itu masih ada dalam hatinya, tapi dia terus mengolah diri. Tetap ada keyakinan bahwa ini tuh jalan yang masih terus harus diperjuangkan, apalagi sudah perjalanan hampir 9 tahun.
Saat ini Fr. Edo sedang menempuh semester 8 dan sedang skripsi. Setelah ini langsung TOP, terus 3-4 tahun lagi baru akan ditahbiskan. “Semoga saya bisa terus menekuni panggilan dengan semangat, semakin sepenuh hati,” itulah harapan seorang Fr. Edo.
Fr. Immanuel Alvin, OSC
Fr. Alvin lahir di Palembang 20 Desember 1997. Ia lahir dalam “keluarga campuran.” Ibunya Katolik, sementara ayahnya beragama Kristen Protestan. Syukurlah mereka berprinsip akan mendukung apa pun yang baik. Mereka meyakini bahwa menjadi imam itu jalan hidup yang baik dan mulia, maka mereka pun mendukung jalan hidup yang dipilih oleh Alvin.
Fr. Alvin memilih menjadi biarawan OSC karena tertarik dari cara hidup doa, liturgi, dan persaudaraannya. Ia tertarik jadi imam sejak kelas 3 SD. “Saat itu saya diajak oleh seorang Romo untuk visitasi. Ketika itulah saya dihadapkan pada kenyataan bahwa seorang Imam itu dibutuhkan umat.” Setelah pengalaman yang membekas itu, ia masuk misdinar.
Sekarang Fr. Alvin kuliah di semester 4 FF – Unpar. “Semoga saya bisa menjadi berkat bagi sesama. Semoga Gereja pun makin dipenuhi oleh orang-orang yang bersemangat untuk mengikuti Kristus,” itulah harapannya. Insya Yesus, 7 tahun lagi dia akan ditahbiskan! Wow! Semoga ya…!
Bagaimana cerita pengalaman iman mereka, menarik bukan? Satu hal yang pasti, jika Tuhan yang memanggil dan berkehendak, maka semuanya akan terjadi. Tak peduli sudah jadi dokter anak, bahkan sudah bertunangan dan rencana pernikahan fixed, atau dari anak yang bandelnya udah kebangetan! Semua “menyerah” ketika Tuhan ngawe- ngawe!