Berbicara mengenai proses hukum yang adil (due process of law) pada dasarnya, tentu tidak bisa lepas dengan sistem peradilan pidana (SPP). Di Indonesia, dalam upaya menanggulangi tindak pidana, baik tindak pidana kejahatan maupun tindak pidana pelanggaran, adalah dengan menggunakan suatu sistem yang disebut “criminal justice system” atau sistem peradilan pidana (SPP), kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem. Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari kata “sistem” dan “peradilan pidana”.
Penulis telah mengemukakan bahwa peradilan pidana, yaitu suatu proses pemeriksaan perkara pidana dari yang dimulai proses penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan, pembelaan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.Peradilan pidana merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu tuduhan pidana, yang dimulai dari proses penyelidikan dan penyidikan (yang meliputi penangkapan, penggeledahan, penahanan), pembelaan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan serta diakhiri dengan pelaksanaan putusan pidana di lembaga pemasyarakatan, apabila terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana.
Pelaksanaan peradilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan ke pengadilan sehingga menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan. Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat.
Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana mempunyai komponen-kompenen penyelenggara . Komponen dalam sistem peradilan pidana yang lazim, selalu melibatkan dan mencakup sub-sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana yang sering disebut dengan aparat penegak hukum. Aparat selaku pelaku penegak hukum dalam sistem peradilan pidana, yaitu polisi (penyidik), jaksa (penuntut), hakim, advokat dan lembaga pemasyarakan, yang kesemuanya akan saling terkait dan diharapkan adanya suatu kerjasama yang terintegrasi. Jika terdapat kelemahan pada salah satu sistem kerja komponen tersebut, akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi demikian, akan tetapi dalam praktiknya para penegak hukum ini sering bekerjasama dalam arti negative untuk menguntungkan para pelaku kejahatan, sehingga tidak membuat jera kepada para pelaku kejahatan, sebagai contoh sering yang kita dengar kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung menerima suap terkait fasilitas, penyalahgunaan izin keluar narapidana, penyalahgunaan izin berobat atau sakit warga binaan (narapidana), dan masih banyak penyalahgunaan di kepolisian, kejaksaan dan hakim, jadi kesimpulan menurut penulis sebagus apapun system peradilan, peraturan perundangan yang kita buat, tidak ada gunanya kalau aparat penegak hukumnya tidak menjalankannya dengan baik dan benar (perlu aparat penegak hukum yang bagus, bukan peraturan atau sisitem yang bagus).
Demikian ruang konsultasi hukum dan/ atau tulisan ini yang dapat kami sampaikan, maaf kami tidak dapat menyampaikannya secara detail, karena terbatasnya ruang, semoga bermanfaat.