Istilah Omnibus Law tidak dikenal dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah diatur dalam undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan-Perundang-Undangan, yang telah diubah dan diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019, akan tetapi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang tentang Cipta Kerja (dikenal sebagai Omnibus Law), Omnibus Law kedudukannya tingkat undang-undang.
Secara definisi, Omnibus Law berarti satu aturan yang terdiri dari banyak muatan (Jardine Le Blanc, 2012 : 78) kata Omnibus itu sendiri secara harfiah bermakna satu bus dengan banyak muatan (Pietro Calage, 2000 : 101), artinya, pada konteks omnibus law sebagai hukum (Baca : Undang-Undang), penekanan atau karakteristik omnibus law adalah pada substansi maupun muatan undang-undang yang menggunakan model omnibus law itu sendiri. Dapatlah dipahami, bahwa omnibus law hanyalah sebutan bagi model undang-undang dengan banyak aturan yang dijadikan satu.
Dalam pembuatan undang-undang termasuk omnibus law, harus dipahami aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Pengertian aspek filosofis dalam hal ini adalah bertujuan konsolidasi, tujuan ini termasuk dalam domain filosofis mengingat tujuan/cita-cita (idee des recht) dari pembentukan omnibus law adalah sebuah peristiwa besar yang tidak bisa diselesaikan dengan aturan yang bersifat khusus (lex specialis). Secara Sosiologis bertujuan memberikan perlindungan dan menyelaraskan prilaku masyarakat sebagai reaksi atas berlakunya norma hukum yang sama sebagai pedoman, sedangkan aspek yuridis bertujuan terbentuknya konsistensi regulasi dan konsekuensi hukum yang konsisiten, sehingga terciptanya kepastian hukum.
Mengingat norma hukum merupakan norma yang bersifat terbuka, maka dapat dilakukan perbaikan maupun penyesuian ada beberapa cara yaitu : (Perbaikan melalui revisi perubahan aturan, apabila kondisi peraturan perundangan bertentangan, maka dapat diterbitkan aturan yang hirarki diatasnya, uji materiel (judicial review) melalui Mahkamah Agung (MA)/Makkamah Konstitusi (MK) dan membuat undang-undang dengan model omnibus law.
Cara membentuk omnibus law dipandang lebih efektif dan efisien di bandingkan dengan cara yang lainnya. Salah satu factor persoalan konflik norma dan tumpang tindih peraturan perundangan adalah terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sehingga terjadi pergeseran sisitem pemrintahan dari semula sentralisasi menjadi desentralisasi yang banyak memberikan kewenangan pada masing-masing daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota), yang mana bentuk kewenangannya dibuat peraturan daerah yang yang tidak sinkronisasi atau bertentangan dengan peraturan lainnya.
Untuk menciptakan Kepastian hukum pemerintah perlu penataan kewenangan pusat dan daerah maupun penataan kewenangan antar instansi yang selama ini tumpang tindih, esensi utama dariomnibus law bukan sekedar mengurangi konflik antar peraturan perundang, akan tetapi untuk menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat.
Menurut Penulis disamping factor-faktor sebagaimana yang telah diuraikan diatas, omnibus lawditerbitkan dengan maksud dan bertujuan untuk menciptakan keseragaman dan mempermudah pelayanan antar pemerintah pusat dengan daerah bagi masyarakat, yang selama ini disebabkan adanya factor ego kepala daerah yang beda partai politik, yang berpayung dalam Undang- Undang Pemerintah Daerah, yang memberi kewenangan untuk membuat peraturan daerah, sehingga terjadilah tumpang tindah peraturan perundang-undangan tersebut.
Demikian ruang konsultasi hukum dan/ atau tulisan ini yang dapat kami sampaikan, maaf kami tidak dapat menyampaikannya secara detail, karena terbatasnya ruang, semoga bermanfaat.