Pada mulanya, berita kepergiannya yang mendadak menimbulkan rasa tidak percaya. Berita mengenai kepergian beliau tiba ketika saya masih menjalani perkuliahan. Kepergiannya tidak disangka-sangka, mengingat bahwa menurut kabar sebelumnya,
beliau masih sehat-sehat saja. Dengan adanya berita tersebut, saya menahan tangis dan air mata, meskipun pada akhirnya saya harus melepaskannya.
Inilah sekilas pengalaman personal dengan beliau. Semenjak saya aktif di gereja, terutama ketika menjadi misdinar, saya mengenal Eyang sebagai sosok yang sederhana dan berwibawa. Homili beliau memang berdurasi cukup lama dan tidak jarang berputar-putar; namun disitulah nampak wibawa dan kebijaksanaan dari sosok yang telah menapaki bertahun- tahun kehidupan dengan segala seluk-beluk pengalaman yang dialaminya. Beliau mewartakan betapa hidup ini bernilai serta patut disyukuri dan dijalani dengan tulus bahagia. Ketika bertugas sebagai misdinar dalam misa yang dibawakannya, beberapa kali saya menuntun dan memegangi tangan beliau untuk menuntunnya naik ke altar kudus. Hal demikian terjadi menjelang selesainya masa pelayanan sebagai misdinar, sebelum masuk seminari. Keputusan saya masuk seminari pun tidak lepas dari campur tangan beliau. Ketika saya mengurus dokumen yang dibutuhkan untuk pendaftaran masuk seminari menengah, salah satunya membutuhkan surat keterangan dari romo di paroki. Saya ingat bahwa Eyang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu saya, kendati pada akhirnya yang menandatangani surat pernyataan adalah romo Wahyu sendiri yang kala itu baru datang. Di seminari tinggi, saya mengetahui bahwa Eyang adalah imam sesepuh keuskupan Bandung, tertua yang kedua setelah romo Liem. Adapun segala pengalaman itu membuat saya semakin mengagumi serta menaruh sikap hormat kepada beliau. Bagi saya dan teman-teman sesama calon imam, Eyang adalah teladan kesetiaan, kesucian dan kesederhanaan. Saya melihat bahwa beliau selalu nampak bahagia. Raut wajahnya yang tua, penuh keriput dan berkumis serta berjenggot menjadi ciri khas beliau yang tidak terlupakan. Ketika berjumpa dengan beliau, saya memberi salam dan beliau membalasnya dengan kata-kata yang sederhana dan penuh wibawa.
Perjumpaan saya yang terakhir dengan beliau adalah ketika saya sedang libur natal tahun lalu dan mengunjungi pastoran Kopo. Saat itu, karena ketatnya protokol kesehatan, saya dan rekan frater hanya dapat menyapa Eyang dari luar kamarnya yang terbuka, sedangkan beliau sendiri sedang duduk di ruangannya sembari membaca buku. Sungguh imam sepuh yang penuh semangat dan bahagia. Sayangnya, saya tidak tahu itu adalah perjumpaan terakhir. Di awal bulan Juli terdengar kabar bahwa beliau berpulang. Saya merasa sedih. Saya ingat lima bulan lagi Eyang akan merayakan pesta emas tahbisannya. Namun, kehendak Tuhan berkata lain. Eyang dipanggil untuk merayakan pesta emas di surga. Sekarang, Eyang bebas dari segala kesusahan dunia dan bersatu dengan barisan para kudus untuk mendoakan kita yang masih berkelana dan berjuang. Eyang, pernah ‘ku menuntunmu menuju altar kudus; Sekarang, Tuhan menuntunmu dengan tangan-Nya menuju kebahagiaan kekal. Kepergianmu mengingatkan bahwa kehidupan ini adalah anugerah yang harus dirawat serta dijalani dengan sepenuh hati, sehingga menghasilkan buah yang berlimpah. Pada masa penuh ketidakpastian seperti ini, kehidupan menjadi sesuatu yang sangat mahal, namun seringkali kami menjalaninya dengan ceroboh dan seenak hati. Engkau mengajarkan kami berharganya kehidupan, dan menginspirasi kami untuk menjalaninya dengan sederhana, bahagia dan penuh syukur. Selamat jalan Eyang. Doakanlah kami, umatmu; doakanlah kami, para calon imam yang masih berjuang ini.