Setiap hari rasanya sulit melepaskan diri dari plastik. Bertahun-tahun kita dimanjakan dengan kemudahan, kepraktisan, dan murahnya harga kemasan plastik. Mulai dari membeli air mineral, secangkir kopi, berbelanja di supermarket, hingga membeli bubur ayam di pagi hari, sudah pasti Anda bertemu dengan kemasan plastik. Sayangnya, sampah plastik yang bersifat anorganik ini sulit diurai bahkan membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya. Plastik yang kita gunakan karena alasan kepraktisan berubah menjadi polutan yang membahayakan lingkungan.
Salah satu buktinya adalah sebuah foto viral kemasan mie instan berusia 19 tahun yang tetap dalam kondisi utuh dan ditemukan disebuah pantai di Malang. Dan sampah jenis ini selalu menjadi momok di sekitar komplek-komplek perumahan umat kita yang tidak lekang waktu meski telah tertimbun bertahun-tahun. Oleh karena itu, sejumlah peraturan pembatasan hingga pelarangan penggunaan kantong plastik disahkan. Perda No. 15 Tahun 2019 memuat sanksi hukum berupa denda Rp5 juta bagi warga Kabupaten Bandung yang membuang sampah ke TPS liar, atau ke sembarang tempat. Meskipun tetap saja hal tersebut tidak sertamerta mengurangi aktivitas pembuangan sampah (plastik) disekitar kita. Sampah yang bercampur juga menyulitkan pengelolaan sampah di TPA. Selain itu masih cukup banyak warga masyarakat yang membakar sampah atau membuang sampah di saluran air, sungai, dan laut. Sampah yang tidak ditangani dengan baik telah mencemari tanah, sungai, laut, udara dan merusak lapisan ozon.
Seperti kita ketahui kota-kota di dunia menghasilkan sampah plastik hingga 1,3 miliar ton setiap tahun. World Bank memperkirakan, jumlah ini akan bertambah hingga 2,2 miliar ton pada tahun 2025. Bila dirata-rata, masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara menggunakan sekitar 100 kilogram plastik setiap tahun, sebagian besar dalam bentuk kemasan plastik. Sementara masyarakat Asia menggunakan 20 kilogram per orang.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Dilansir dari Indonesia.go.id, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun. Sebanyak 3,2 juta ton di antaranya merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Sementara itu, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 miliar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik. Jumlah ini menempatkan Indonesia di urutan kedua sebagai negara dengan jumlah pencemaran sampah plastik ke laut terbesar, setelah Tiongkok. Bukan urutan yang patut dibanggakan, karena sampah plastik mengancam berbagai aspek kehidupan, terutama kehidupan biota laut dan keseimbangan ekosistem di lautan.
Selain ekosistem laut yang rusak akibat limbah plastik, sampah plastik juga berdampak pada beberapa hal ini. 1. Merusak rantai makanan. 2. Membunuh hewan dengan merusak sistem hutan bakau yang penting bagi manusia dan merupakan habitat bagi ribuan spesies. 3. Mencemari tanah dan air tanah karena terbentuknya bahan kimia berbahaya yang bisa meresap ke bawah tanah. sehingga menurunkan kualitas air. 4. Menyebabkan polusi udara dengan pembakaran sampah pastik di udara terbuka menyebabkan udara tercemar karena pelepasan bahan kimia beracun ke udara. 5. Menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia dan 6. Menguras biaya dengan puluhan hektar lahan dan biaya terkuras untuk membuat banyak tempat pembuangan sampah yang sebagian besar adalah sampah plastik.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai umat Katolik agar ajaran Paus Fransiscus ‘Laudato Si’ semakin membumi di tanah air kita? Gerakan Sedekah Sampah oleh Pemuda Katolik mungkin dapat dijadikan contoh baik dalam pemeliharaan Bumi tersebut. Pemuda Katolik mengajak umat untuk mulai memilah sampah dan mengumpulkan sampah anorganik di tempat yang disediakan oleh paroki. Layanan pengambilan secara rutin akan dilakukan bekerja sama dengan Rapel (Rapel.id). Rapel merupakan aplikasi dan sistem untuk pengumpulan sampah anorganik yang sudah dipilah. Gudang sentra pemilahan di sejumlah lokasi akan disiapkan untuk menerima sampah anorganik dari berbagai sumber. Sampah anorganik akan dipilah lebih lanjut dan dikirim ke pabrik daur ulang. Hasil penjualannya dapat digunakan menunjang program sosial paroki dan dana kaderisasi Pemuda Katolik. Gerakan pemilahan dan sedekah sampah juga akan membuka lapangan kerja baru, baik sebagai mitra kolektor maupun tenaga pemilahan.
Pemilahan sampah sejak dari sumbernya merupakan langkah awal yang penting dalam usaha mengatasi permasalahan sampah. Sampah yang dipilah akan dapat dimanfaatkan sesuai dengan jenisnya. Sampah organik dapat diolah menjadi kompos, pupuk cair, eco enzyme, dan pakan Maggot BSF. Sampah anorganik dapat dipilah sesuai jenis bahannya, dikumpulkan, dan dikirim ke pabrik daur ulang. Minyak jelantah dapat dimanfaatkan untuk bahan baku biodiesel. Dengan demikian maka sebagian besar sampah dapat berguna dan tidak mencemari lingkungan. Masih banyak karya dan keterlibatan yang telah dilakukan oleh berbagai paroki dan organisasi, kiranya dipayungi tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama – bonum commune. Kita harus selalu membangun kesadaran umat untuk menjadi warga negara yang baik. Yuk, kita mulai dari sekarang! (ig:Paulus W. Prananta)