Hari Minggu Biasa ke-19 (Minggu, 7 Agustus 2022)
Keb 18:6-9, Ibr 11:1-2.8-19, Luk 12:32-48
Manusia merupakan ciptaan Allah yang paling mulia dan paling sempurna dari segala ciptaan yang lainnya. Meskipun demikian, manusia tetap memiliki keterbatasan. Salah satu keterbatan yang ada dalam diri manusia adalah tidak tahu pasti apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Keterbatasan tesebut tidak membuat manusia hidup tanpa arah dan tujan, karena dalam diri manusia terdapat sutu daya yang disebut harapan. Oleh karena harapan itulah, manusia mampu merancang dan membuat cita-cita tetang sesuatu yang hendak diraih di masa yang akan datang. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau manusia tidak punya harapan. Lawan dari harapan adalah putus asa. Banyak pengalaman yang membuktikan bahwa karena putus asa seseorang berani mengakhiri hidupnya sendiri. Jadi betapa pentingnya harapan itu untuk kelangsungan hidup manusia.
Dari manakah harapan itu bisa tumbuh dalam diri manusia? Dalam bacaan pertama pada hari Minggu ini surat kepada orang Ibani menegaskan bahwa “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1). Dari imanlah harapa itu tumbuh dan sekaligus menggairahkan, menyemangati serta memotivasi manusia untuk tetap setia menjalani panggila hidupnya, temasuk pada saat mengalami berbagai macam kesulitan, kegagalan, pederitaan, dsb.
Selanjutnya dalam surat kepada orang Ibrani 11:8-12, dikisahkan tentang pengalaman iman Abraham. Karena iman, ia mau menjalani panggilan Allah, meniggalkan kampung halamannya, dengan harapan mendapatkan tanah yang dijanjikan Allah. Ketika ia sudah lanjut usia, demikian juga isterinya Sara yang sudah mati pucuk, mereka tetap menaruh harapan, bahwa Allah akan menepati janjinya, yaitu menganugerahkan keturunan. Semua yang diharapkan Abraham, walaupun melewati waktu yang sangat lama akhirnya terpenuhi juga.
Dari pengalaman Abraham, kita mendapatkan peneguhan, bahwa pengharapan yang lahir dari iman itu tidak akan mengecewakan. Sebab pengharapan yang ada dalam diri kita itu bukan semata-mata hasil pemikiran, perencanaan dan perhitungan akal budi manusia, melainkan berkat campur tangan Allah sebagai penyelenggara kehidupan umat manusia. Untuk itu betapa pentinnya bagi kita memelihara, memupuk dan menumbuhkembangkan iman, supaya pengharapan kita akan kehidupan yang lebih baik – lahir maupun batin, jasmani mupun rohni – tetap menjdi penyemangat dalam menjalani kehidupan yang kerap kali tidak sesuai dengan cita- cita, yang kerap kali menyedihkan dan megecewakan. Semoga kita juga mampu menghidupi iman akan Yesus Kristus, sehingga pengharapan kita akan kehidupan surgawi, bagaikan seorang hamba yang didapati sedang melakukan tugasnya ketika tuannya datang (bdk. Luk 12:43). Semoga demikian