Sepanjang edisi lampau ketika saya membahas nyanyian Gregorian, saya mau “beristirahat” sejenak mengenalkan Gregorian. Kali ini, saya mau membahas (masih mengenai musik Liturgi), yang kerap kali dipandang “tidak sah”. Bahkan, ada seruan yang lebih keras: “dilarang diperdengarkan di dalam bangunan Gereja yang suci”, entah karena tidak biasa, tidak suka, kurang memahami konteks, atau alasan lain yang saya tidak ketahui. Topik kali ini adalah tentang keberadaan musik band dalam Perayaan Ekaristi, khususnya bersama dengan OMK.
Dokumen Gereja mengatakan bahwa dalam Gereja Latin, orgel (pipa) hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan dan mengangkat hati umat kepada Allah di surga (Sacrosanctum Concilium 120). Suara orgel dianggap mempunyai nilai-nilai yang abadi yang dapat didengar, dirasakan, dan dialami oleh umat yang mendambakan puncak keindahan suara “yang bernuansa surgawi”. Seiring dengan perkembangan teknik polifoni (musik dengan banyak bunyi, contoh: https://bit.ly/sing-joyfully-voces8), orgel digunakan untuk mengiringi banyak nyanyian Gregorian, sehingga dapat menambah suasana “surgawi” bagi para pendengarnya. Perlu diingat bahwa pada asal mulanya, nyanyian Gregorian adalah musik monofoni yang dinyanyikan tanpa iringan. Jika Anda belum pernah mendengarkan bagaimana bunyi orgel, ilustrasi mudahnya adalah: bayangkan Anda mendengarkan musik organ yang biasa dimainkan di Gereja Martinus, ditambah dengan “sound effect” yang lebih megah lagi dengan berbagai kemungkinan register. Orgel di Gereja Katolik Bandung dapat Anda jumpai di balkon Katedral.
Seiring perkembangan zaman dan dunia, kita memang perlu mengakui bahwa nyanyian Gregorian perlahan mulai “ditinggalkan” karena alasan-alasan bosan, membuat mengantuk, kurang menarik, tidak ada jiwa, dan lain sebagainya. Musik liturgi yang “biasa” dibawakan di Gereja (lagu-lagu PS/MB/lagu rohani popluer lainnya), juga kadang dirasa sudah terlalu sering dibawakan, sehingga umat (konteks yang saya bahas adalah OMK), menginginkan suatu sajian musik yang lain ketika mengikuti Perayaan Ekaristi, yang salah satunya adalah band. Hal ini, sejauh pengalaman dan pandangan saya, biasanya sulit terjadi karena adanya pendapat ini dan itu dari umat, dan sering kali, pada akhirnya membawakan band di dalam Misa dilarang. Akibatnya, beberapa OMK yang gelisah akan hal ini menjadi kecewa/sedih, atau mengalami kurangnya semangat ber-Ekaristi. Bagaimana sebenarnya pandangan Gereja terhadap hal ini?
Musik adalah rahmat Allah, bagian dari kehidupan dunia ini yang memberi warna dan nada pada gerak hidup alam dan dunia kita sehari-hari. Ada banyak jenis bunyi-bunyian, ada banyak ragam musik. Liturgi adalah kegiatan bersama yang diselenggarakan Gereja untuk membantu umatnya berjumpa dengan Allah dalam kesatuan dengan Kristus. Musik Liturgi berperan untuk membantu seluruh proses perjumpaan Kudus itu: santifikasi atau pengudusan manusia oleh Allah dan glorifikasi atau pemuliaan Allah dari manusia. Karena makna dan peran itulah, maka pemilihan jenis bunyi-bunyian alat musik yang dipergunakan membantu perayaan Liturgi hendaknya memperhatikan umat yang hadir saat perayaan. Umat yang hadir saat perayaan punya latar belakang dan warna budaya yang mempengaruhi warna musik batinnya: musik yang dapat membawa batin berjumpa dengan Allah.
Perayaan Ekaristi bersama OMK juga mempunyai ciri khas, yaitu seperti orang muda pada umumnya, OMK memiliki sifat dinamis dan gembira. Tentu saja, ciri komunitas juga mempengaruhi. Tidak sedikit juga orang muda yang mempunyai jiwa meditatif. Maka, sebagai tim pelayan Liturgi, diperlukan pengetahuan dan kebijaksanaan dalam memilih musik Liturgi yang “pas” sehingga dapat membantu umat saat itu. Setiap perayaan mempunyai ciri khasnya, tidak ada yang sama. Selain yang hadir, tema perayaan, tempat, ketersediaan alat musik memegang peran yang menentukan.
Bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh alat musik band mempunyai warna khas yang juga bagian dari rahmat Allah. Namun, musik band dalam pertumbuhan musik dunia banyak sekali berperan dalam kehidupan musik profan duniawi, sehingga ketika bunyi band terdengar, umat umum akan lebih mudah untuk mengingat hal-hal duniawi yang terjadi di seputar kehidupan, bukannya mengingat ibadah di Gereja. Lain cerita bagi orang muda pencinta band, yang dapat merasakan indahnya kasih Allah dengan bunyi- bunyian band tersebut. bila komunitas itu berkumpul merayakan liturgi, tentu musik band akan menjadi pilihan mereka karena sangat membantu mereka berjumpa dengan Allah. Sebaliknya, bila mereka diperdengarkan musik orgel pipa dengan nyanyian Gregorian (yang kemungkinan besar mereka tidak tahu), mereka tidak dapat merasakan jiwa dari nada-nada yang dihasilkan, sehingga suasana yang diciptakan tidak membantu perjumpaan mereka dengan Allah.
Akhir kata, dalam musik Liturgi tidak ada yang mutlak “salah dan benar” dan tidak ada yang mutlak “boleh dan tidak boleh”. Bagaimana kita melihat umat yang kita layani, bagaimana kita melihat peran musik nyanyian dan doa Liturgi, bagaimana sebagai Imam dan tim pelayan Liturgi berupaya membantu umat atau OMK berjumpa dengan Allah dalam peristiwa kudus ini dalam tema, rangkaian doa, dan bacaan sabda-Nya, dan juga musik nyanyiannya.