Hari Minggu Biasa ke-15 (Minggu, 10 Juli 2022)
Ul 30:10-14, Kol 1:15-20, Luk 10:25-37
Idealnya orang yang taat pada agama, apalagi kalau ia seorang pemipimpin, mestinya memiliki jiwa kepedulian terhadap sesama, terlebih terhadap mereka yang sedang mengalami penderitaan. Namun realita kerapkali berbeda dengan yang idealis, kenyataan sering kali berlawanan dengan harapan. Lepas apakah itu bisa diterima atau tidak, tentu hal itu ada sebab dan alasannya. Untuk itu mari kita telaah dan maknai pengalaman yang dikisahkan dalam bacaan Injil hari ini (Luk 10:25-37).
Ada seseorang yang sedang dalam perjalanan dari Yerusalem menuju ke Yerikho. Di tengah perjalanan ia dirampok dan dianiaya. Para perampok meninggalkan dia seorang diri dalam keadaan pingsan. Lewatlah seorang imam melalui jalan itu, ia melihatnya, tetapi tidak memberi pertolongan, malah menghindar. Demkian juga seorang Lewi datang ke tempat itu, ketika ia melihatnya, ia juga menghidar, tidak memberi petolongan.
Imam dan Lewi adalah tokoh agama Yahudi, namun ketika mereka berjumpa dengan orang yang sedang menderita, sedikit pun mereka tidak menghiraukannya, malah menghindar. Mereka berperilaku demikian, karena mentaatit aturan agamanya, yang melarang menyentuh orang sakit, karena hukunya najis. Apalagi seorang Imam yang tugasnya memimpin ibadat, ia dilarang keras bersentuhan dengan orang yang sakit, seperti orang yang pingsan ini, karena itu bisa menajiskan dirinya. Itulah sedikit latar belakang mengapa Imam dan Lewi tidak memberi pertolongan kepada orang yang pingsan.
Selain Imam dan Lewi lewat pula ke tempat itu seorang Samaria. Ketika ia melihat orang yang pingsan itu tergerak hatinya oleh belas kasihan. Ia memberi pertolongan yang luar biasa, mulai dari mengobati luka-lukanya, membalutnya, dan membawanya ke tempat perawatan serta menanggung semua biaya perawatannya.
Menjalani kehidupan beragama dengan berpegang teguh secara verbalisme pada hukum, ternyata tidak membuat seseorang menjadi pribadi yang peka dan peduli terhadap sesama yang menderita. Ia bagaikan robot yang sudah diprogram, dikendalikan secara mekanis oleh hukum yang kaku, melakukan segala sesuatu tanpa melibatkan hati dan rasa. Demikan juga penafsiran yang sempit, dangkal dan keliru terhadap aturan agama dapat menjadikan seseorang salah langkah dalam menapaki kehidupan konkrit sehari-hari. Bahkan bisa terjerumus pada tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri.
Sesungguhnya dalam diri manusia itu sudah ada hukum yang ditanamkan oleh Allah, yaitu yang disebut suara hati atau hati nurani, yang selalu menyuarakan dalam hati atau yang selalu menggerakan hati untuk melakukan berbagai hal kebaikan. Orang Samaria hidupnya lebih dituntun dan mengikuti suara hati. Oleh karena itu ketika hatinya tergerak oleh belas kasihan, ia langsung melakukan tindakan belas kasih itu terhadap orang yang terkapar pingsan.
Aturan atau hukum dalam kehidupan bersama itu perlu, tapi kita harus kristis dalam menyikapi dan mentaatinya. Hukum yang utama adalah kasih, kebenarannya tidak dapat disangsikan lagi. Mentaati dan mewujudkannya merupakan keharusan yang dapat dipertanggung jawabkan.