Dalam tulisan sebelumnya saya membahas tentang Yehuda (Kerajaan Selatan) pada masa pemerintahan Manasye (687-642) dan Yosia (640-609). Lewat pelbagai upaya percaturan politik internasional masa itu, akhirnya Yehuda menjadi raja vassal Mesir di bawah Nekho. Yang memerintah sebagai raja vassal di Yehuda saat itu ialah Yoyakim. Dalam tulisan ini saya mengulas tahun-tahun terakhir kerajaan Yehuda yang merentang antara 609 (awal naiknya Yoyakim menjadi raja Yehuda) hingga 587, raja Zedekia, saat Yerusalem dihancurkan Babel dan terjadilah drama tragis sejarah terkenal itu, pembuangan Babel.
Yoyakim sendiri memerintah tahun 609-598. Masa pemerintahan dia sebenarnya tidak cemerlang, karena berlangsung sebagai orang yang tunduk kepada Mesir. Tidak heran jika pemerintahan dia sangat lemah secara politis dan bobrok secara keagamaan. Bahkan terjadi banyak penyimpangan serius dalam praksis hidup keagamaan. Pemerintahan Yoyakim ini digambarkan dengan sangat baik oleh banyak peristiwa yang terjadi dalam hidup personal Yeremia (lihat, Yer 36).
Untuk menggambarkan kerusakan hidup keagaman dan kekacauan politis itu, dapat dikatakan bahwa segala hal yang baik yang dilakukan pada pembaharuan deuteronomis akhirnya dimentahkan kembali dan segala sesuatu kembali ke titik awal sebelum gerakan pembaharuan itu dilakukan (Yer 7:16-20; Yeh 8). Pada masa itu Yehuda berada di bawah situasi politik internasional yang tidak mudah dan sangat sulit. Itu adalah akibat persaingan perebutan kekuasaan antara dua adidaya: Mesir dan Babel. Kita tahu dari babad-babad Babilonia tentang peta kekuatan dan kedudukan penting Babel (ANET 563-64). Pertarungan elit kekuasaan global masa itu dapat dengan singkat digambarkan sebagai berikut. Tahun 605, raja Nebukadnezar (Babel) mengalahkan Mesir dengan telak di Karkemis (Yer 46:2-12). Tetapi Neko dari Mesir tidak tinggal diam. Ia mau melakukan politik balas dendam. Hal itu bisa ia wujudkan tahun 601. Nekho melakukan serangan balik ke Babel dan mengalahkannya. Itu yang bisa menjelaskan mengapa Yoyakim meremehkan Babel dan tidak taat kepadanya.
Sebagai kerajaan yang terletak di tengah kedua adidaya tersebut, Yehuda sungguh terjepit. Karena itu tidak heran jika di Yerusalem muncul dua kubu politik yang bersaing. Ada kubu yang membela Mesir. Ada kubu yang membela Babel. Sebuah pilihan politis yang tidak mudah. Rupanya raja Yoyakim lebih pro-Mesir sehingga ia memutuskan untuk memberontaki alias tidak mau taat kepada Babel. Tanpa diduga, ternyata pemberontakan itu dibalas dengan cepat. Hal itu terjadi pada pertengahan Maret tahun 597. Kita tahu hal ini dari Babad-babad Babilonia yang mengisahkan tentang Yerusalem yang menyerah. Tetapi saat itu Yoyakim sudah mati. Mungkin mati karena dibunuh. Anaknya yang masih muda, Yoyakhin, hanya memerintah tiga bulan saja (2Raj 24:8). Dialah yang diseret ke Babel sebagai tawanan, bersama sejumlah besar kaum buangan lain (2Raj 24:8-17). Beberapa sumber extrabiblis melaporkan bahwa sang raja bernasib malang ini diperlakukan dengan lembut. Dialah yang menjadi wakil dinasti David bagi kaum buangan (Yehezkiel mengatakan bahwa karya nubuatnya dilakukan pada masa pemerintahan Yoyakin ini).
Sesudah serangan tahun 597, akhirnya naiklah Zedekia (Matanya, paman Yoyakhin, 2Raj 24:17) sebagai raja terakhir Yehuda. Ia memerintah tahun 597-587. Raja ini pun bukan orang yang tepat di tengah pelbagai sepak terjang persaingan dan pertarungan politik internasional masa itu. Dari cara Zedekia berurusan dengan Yeremia kita sudah bisa melihat watak raja yang ragu-ragu (Yer 32-38). Akhirnya ia menyerah kepada partai pro- Mesir. Kelompok ini mempunyai harapan besar yang dikipasi oleh Firaun seperti Psammetichus II dan Hophra (Apries). Karena lebih condong kepada partai pro-Mesir maka Babel marah. Babel pun datang segera untuk menghukum Yehuda. Saat itu Nebukadnesar mengepung dan menyerang Yerusalem tahun 589. Raja Babel tidak menaruh ampun sedikitpun kepada Yehuda. Ia hancurkan semua kubu pertahanan Yehuda. Yang tersisa hanya Azekah dan Lakish. Menurut Yer 37, serangan itu dihentikan sementara waktu karena ada campur tangan dari bala tentara Mesir. Tetapi tetap saja Yerusalem hancur. Tembok benteng kota roboh dan kota itu pun jatuh tahun 587. Melihat dan menyadari hal itu, maka Zedekia dan orang-orangnya pun mencoba melarikan diri dari kota yang terkepung itu. Tetapi ia berhasil ditangkap lalu dibawa ke Ribla ke hadapan Nebukadnesar. Di sana matanya dicungkil setelah sebelumnya ia menyaksikan satu persatu anaknya dibunuh, begitu juga para pembesar istana yang ada bersama dengannya. Atas perintah Nebukadnesar, Yerusalem dihancurkan. Sebagian besar penduduknya digiring ke pembuangan Babel. Lalu Gedalia, anak Ahikam yang telah membela Yeremia, ditunjuk sebagai gubernur dengan kedudukan di Mizpa.
Tetapi tidak lama sesudah itu, seorang yang berasal dari keturunan istana bernama Ishmail, membunuh Zedekia. Jelas hal ini menunjukkan ada situasi panas dan punya tendensi kepada pergolakan besar. Bahkan tampak bahwa ada potensi membangkitkan semangat revolusioner. Kiranya itulah yang menyebabkan Babel mengambil langkah- langkah represif. Hasilnya terjadilah deportasi baru, mungkin deportasi ketiga, tahun 582; bdk., Yer 52:30). Para pembela Gedalia tidak bisa menangkap Ismael. Karena itu mereka melarikan diri ke Mesir. Mereka juga memaksa nabi Yeremia agar ikut bersama mereka (Yer 42). (Bersambung…).